Asas Geen Straf Zonder Schuld berarti orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan (dijatuhi pidana) kalau tidak melakukan perbuatan pidana. Asas ini bertumpu pada premis bahwa “keadilan hukum pidana bukan hanya bertumpu pada kesalahan sebagai tolok ukur keberhasilan (output), melainkan juga harus berorientasi pada dampaknya (outcome), yaitu kemanfaatan bersama antara pelaku, korban, dan masyarakat”. Apabila para aparat penegak hukum menerapkan asas ini dalam ranah praktik peradilan, maka aparat penegak hukum menerapkan hukum pidana sebagai ultimum remedium bukan sebagai primum remedium.
Asas Geen Straf Zonder Schuld terdapat dalam Pasal 6 ayat 2 UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi:
“Tidak seorang pun dapat dihadapkan di depan pengadilan selain daripada yang ditentukan oleh undang-undang. Tidak seorang pun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan, karena alat pembuktian yang sah menurut undang-undang, mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya”. Bahwa dalam penjatuhan putusan, hakim harus menjatuhkan pemidanaan yang berdasarkan kesalahan yang melekat dalam diri terdakwa. Jadi, Asas Geen Straf Zonder Schuld dalam penjatuhan putusan, hakim harus menjatuhkan pemidanaan yang berdasarkan kesalahan yang melekat dalam diri terdakwa.
Mengulas terkait kasus pencurian rumah mewah di Jalan Kedoya. Pelaku menyuruh sejumlah tukang membongkar material berharga di rumah itu, kemudian menawarkan barang-barang dan material rumah kepada sejumlah orang. Pencurian ini terungkap dan pelaku terbukti bersalah lalu divonis empat tahun penjara sesuai dengan pasal 363 ayat (1) ke-5 KUHP juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Sumber :